Jumat, 22 Juni 2012

Kontribusi Teknologi Pendidikan Dalam Membangun Pendidikan Multikultural

Pada awalnya pendidikan multikultural dipandang dalam perspektif sebagai proses :
(a) mengenal realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami individu yang secara kultural berbeda dan dalam interaksi manusia yang kompleks, dan 
(b) cerminan pentingnya memperhatikan budaya, ras, perbedaan seks dan gender, etnis, agama, status sosial, dan ekonomi dalam proses pendidikan (Hernandez).

Dalam sumber lain dikatakan bahwa Pendidikan multikultural paling tidak dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu sebagai sebuah ide atau konsep, sebagai gerakan pembaruan pendidikan, dan sebagai sebuah proses. Pendidikan multikultural sebagai sebuah ide diartikan bahwa bagi semua siswa – dengan tanpa melihat gender, kelas sosial, etnik, ras, dan karakteristik budaya – harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.

Dari definisi ini disadari bahwa realitas yang beragam yang ada dalam konteks sekolah dan masyarakat memerlukan perhatian dari guru, karena pertama, kondisi ini berimplikasi pada tuntutan agar siswa harus belajar berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang yang berlatar belakang budaya berbeda. Dalam konteks ini, pendidikan multikultural adalah suatu proses yang membantu individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi, dan masuk ke dalam sistem budaya yang berbeda dari yang mereka miliki (Gibson, 1984). Kedua, kondisi ini juga memerlukan pertimbangan dari orang-orang yang memiliki pengaruh yang kuat atas sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Orang-orang ini mencakup seluruh unsur masyarakat yang mempengaruhi prioritas dan arah pendidikan di seluruh negara dan wilayah. Juga mencakup elemen sosial dan budaya yang mempengaruhi bagaimana guru mengajar dan apa yang mereka ajarkan; bagaimana siswa belajar dan apa yang mereka pelajari;

Bullivant (1993), mendefiniskan budaya sebagai suatu program kelompok untuk mempertahankan diri dan beradaptasi dengan lingkungannya. Program kultural (budaya) meliputi pengetahuan, konsep, dan nilai yang disebarkan oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi. Budaya juga mencakup penyebaran kepercayaan, simbol, dan interpretasi dalam kelompok manusia. Banyak ahli ilmu sosial saat ini memandang budaya terutama sebagai simbolik, ideasional, dan aspek yang tidak dapat dijamah dalam kehidupan manusia. Jadi esensi budaya adalah bukan artifak, alat-alat, atau elemen-elemen budaya yang dapat disentuh, tetapi bagaimana anggota kelompok menginterpretasi, menggunakan, dan mempersepsi semuanya itu. Budaya adalah suatu nilai, simbol, interpretasi, dan persepsi yang membedakan seseorang dari yang lainnya dalam suatu masyarakat modern. Ini bukan obyek-obyek materi dan aspek-aspek yang dapat disentuh dalam kehidupan manusia (Banks, 1994a; 1994b). orang dalam sutau budaya biasanya meninterpretasi makna simbol, artifak, dan perilaku dengan cara yang sama atau mirip sama.

Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural menjadi suatu keniscayaan, karena kondisi sosial budaya bangsa dan negara Indoensia yang sangat beragam. Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan budaya yang sangat beragam. Sekitar 222,7 juta penduduk yang tersebar lebih dari 6.000 pulau. Wilayah Indonesia tersusun atas 33 propinsi, 440 kabupaten/kota, 5.263 kecamatan, serta 62.806 desa. Terdapat puluhan suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda, dan lebih dari 660 bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk Indonesia. Sejumlah 293.419 satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs,SMA/MA) di Indonesia tersebar di berbagai wilayah, total 51,3 juta siswa dan 3,31 juta guru.

Disadari bahwa untuk membangun bangsa dengan beragam adat dan budaya yang tersebar di wilayah yang sangat luas dan terpencar, diperlukan suatu strategi dan upaya yang sistematis untuk melakukannya. Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan tujuan pembangunan pendidikan nasional jangka menengah, yang diantaranya adalah meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara adil, tidak diskriminatif, dan demokratis tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual; menurunkan secara signifikan jumlah penduduk buta aksara; memperluas akses pendidikan nonformal bagi penduduk laki-laki maupun perempuan yang belum sekolah, tidak pernah sekolah, buta aksara, putus sekolah dalam dan antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan.
 Di samping itu, pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global.
Untuk mengoptimalkan proses dan pencapaian hasil yang diharapkan, dikembangkan berbagai strategi dengan memperhatikan perkembangan teknologi. Salah satu strategi yang dipilih adalah dengan memanfatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana pembelajaran jarak jauh (distance learning) terutama di perguruan tinggi, pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Teknologi informasi dan komunikasi akan dimanfaatkan secara optimal dalam fungsinya sebagai media pembelajaran jarak jauh, dan juga untuk memfasilitasi manajemen pendidikan.

Untuk mendukung upaya pemerintah tersebut berbagai sistem pembelajaran inovatif telah dikembangkan sebagai bentuk penerapan konsep teknologi pendidikan, seperti SD PAMONG, SD Kecil, SMP Terbuka, Universitas Terbuka, dan Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ). Hal ini karena pada umumnya teknologi pendidikan mempunyai potensi untuk melaksanakan pendidikan lebih luas, terutama dengan pemanfaatan media massa, dengan jalan penyajian informasi yang mampu menembus batas geografi, mengurangi jurang pemisah antara pelajaran di dalam dan di luar sekolah, memberi kesempatan anak berkembang sesuai dengan karakteristik dan latar belakang kehidupannya.

Di samping itu, teknologi pendidikan dikembangkan berdasarkan pada sejumlah asumsi, diantaranya “pendidikan dapat berlangsung secara efektif baik di dalam kelompok yang homogen, heterogen, maupun perseorangan (individualized)”, dan “belajar dapat diperoleh dari siapa dan apa saja, baik yang disengaja dirancang maupun yang diambilmanfaatnya”. Ini menunjukkan bahwa bila seseorang mempunyai kesadaran, dan minat untuk belajar, dia dapat mengambil pelajaran dari siapa saja; tidak hanya dari orang tua dan guru, melainkan juga dari teman sebaya, pemuka masyarakat, dan anggota masyarakat lain.

Dari uraian di atas tampak bahwa teknologi pendidikan dapat menjadi sarana untuk mendorong terjadinya proses pendidikan multikultural yang berlangsung di Indonesia. Teknologi pendidikan dengan berbagai inovasinya akan dapat melayani pendidikan bagi semua (education for all), tanpa harus terganggu oleh perbedaan latar belakang budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar