Senin, 02 Juli 2012

Saat Ini Kurikulum Pendidikan Terlalu Banyak


Banyaknya kurikulum pendidikan nasional diduga menjadi sebab minimnya penanaman nilai moral positif bagi anak dan remaja. Banyaknya tugas kurikulum membuat beberapa anak menjadi fobia untuk sekolah. Mereka menggunakan berbagai alasan dan tidak sempat lagi bagi orangtua dan guru menanamkan nilai-nilai.

Ini merupakan hasil akhir dari seminar psikologi bertema Peran Pendidik, Psikolog, dan Orangtua dalam Penanaman Nilai-Nilai bagi Anak dan Remaja. Seminar nasional ini diselenggarakan di aula kampus Jl Raya Kaligawe Km 4 oleh Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Sabtu (21/5).

Dr Seto Mulyadi, Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan banyaknya salah pengertian di kalangan orangtua saat ini. Anak yang pintar adalah anak yang jago matematika, menari, menggambar, atau menulis. Setiap anak berbeda-beda dan harus kita hargai bakat dan minat mereka terhadap sesuatu.

Hal ini diperparah dengan pengaruh globalisasi yang membuat orang tidak lagi memperhatikan anaknya. Mereka cenderung untuk menyerahkan pengasuhan kepada lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal.

Seharusnya pendidikan nasional harus melihat bagaimana kompetensi dan standar kelulusan yang ramah anak. Rangkaian ini akan dapat menjadi stimulus bagi kecerdasan anak, seperti angka, gambar, kata, tubuh, musik, teman, alam, dan diri sendiri.

Dukung Pendidikan Lingkungan Usia Dini


Pendidikan lingkungan usia dini sudah seharusnya kita dukung. Diharapkan para guru dan pendidik semakin bersemangat untuk melahirkan anak bangsa yang menyadari arti pentingnya pemeliharaan dan perlindungan lingkungan.

Hal itu disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara peringatan hari lingkungan hidup internasional.

Dalam acara ini presiden memuji pada guru sekolah dasar hingga menengah atas yang berjuang untuk mengajarkan pendidikan lingkungan pada siswa mereka.

Presiden juga menambahkan, masa keemasan anak merupakan masa yang tepat untuk membangun sikap dan perilaku mereka, terutama ketika beranjak usia 12 tahun.
Dalam acara tersebut, presiden juga mengumumkan penghargaan bagi sekolah yang melakukan pendidikan lingkungan.
Untuk kategori sekolah dasar diterima oleh SDN 001 Lima Puluh Pekanbaru, Riau, SDN 005 Bukit Raya Pekanbaru Riau, SDN 9 Bantarjati Bogor Jabar, SDN 12 Benhil Bendungan Hilir Jakarta, , SDN Dinoyo III Malang, Jatim, SDN 4 Metro Lampung, dan SDN Kandangan III Surabaya.

Kategori sekolah menengah pertama diterima oleh SMPN 1 Merakurak Tuban, Jatim, SMP Muhammadiyah Yogyakarta, SMPN 1 Balikpapan, Kaltim, SMPN 10 Sukabumi Jabar, SMPN 2 Kebomas Gresik, Jatim, SMPN 1 Cigombong Sukabumi, Jabar, dan SMPN 10 Samarinda, Kaltim.

Kategori sekolah menengah atas, penghargaan diterima oleh SMAN 1 Geger Madiun, Jatim, SMAN 1 Bandar Bener Meuriah Aceh, SMAN 1 Wringinanom Gresik, Jatim, SMA 10 Malang, Jatim, SMKN 1 Probolinggo Jatim, SMAN 2 Wonosari Yogyakarta, dan SMAN 5 Jember, Jatim.

65 Persen Anak Indonesia Belum Akses PAUD

Tidak semua anak di Indonesia memiliki kesempatan yang sama dalam akses Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hanya 35 persen saja yang sudah mendapatkan pelayanan PAUD. Jumlah ini sekitar 10.150.000 dari 29 juta anak di seluruh Indonesia. Sedangkan 65 persen sisanya atau 18.850.000 anak belum memiliki kesempatan mengakses layanan PAUD.

Hal ini disampaiakan oleh Prof Dr Lydia Freyani Hawadi Psi, Dirjen PAUDNI Kemendiknas pada saat kunjungan kerja di Kabupaten Purworejo, Selasa (10/4). Ia bersama dengan Dr Nugaan Yulia Wardani Siregar Psi Direktur Pembinaan PTK-PAUDNI, Dr Erman Syamsuddin Direktur Pembinaan PAUD, Drs Zulkifli Akbar Psi MSi Asdep Kepanduan, dan Dr Ade Kusmiadi MPd Kapus P2NFI Semarang.

Lydia mengungkapkan bahwa pihak pemerintah memiliki kemampuan yang sangat terbatas, sehingga penyelenggaraan PAUD sebisa mungkin bukan hanya menjadi tanggung jawab dan tugas pemerintah. Ia berharap kepedulian pihak swasta ikut serta dalam penyelenggaraan PAUD di lingkungan masyarakat.

“Kami menargetkan tahun 2015 setidaknya 75 persen anak-anak di Indonesia sudah bisa terlayani PAUD. Ini butuh kepedulian pihak swasta, misalnya dengan mendirikan PAUD di desa-desa. Bantuan dari pemerintah sifatnya hanya stimulan saja,” katanya.

Menurutnya, kendala lain adalah kurangnya kualitas tenaga pengajar PAUD di Indonesia. Sebanyak 50 persen belum memiliki kualifikasi S1. Kondisi semacam ini membuat standar pendidikan PAUD belum terpenuhi seperti halnya Permendiknas Nomor 58 tahun 2009.

“Tapi walaupun begitu kami memberikan apresiasi kepada para pendidik yang sudah tulus ikhlas melakukan pengabdiannya,” ungkapnya.

Lydia juga meminta kepada PGTKI dan HIMPAUDI di seluruh kabupaten/kota di Indonesia untuk lebih mendukung dan memberikan berbagai kegiatan guna meningkatkan mutu tenaga pengajar. Pihak PGTKI dan HIMPAUDI bisa melakukan kegiatan peningkatan SDM melalui kursus bagi tenaga pengajar.
 
Sampai saat ini Kemendiknas masih belum memutuskan untuk memberikan standar akreditasi PAUD. “Kami belum menerapkan sistem akreditasi PAUD,” kata Lydia.

Sering SMS di Kelas, Pengaruhi Hasil Belajar Mahasiswa

Mahasiswa yang sering mengirim dan menerima SMS (Short Message Service) selama di kelas, memiliki kesulitan untuk tetap memperhatikan pelajaran dan akibatnya berisiko mendapatkan hasil yang buruk dalam mata kuliah. Hal ini merupakan hasil penelitian baru yang diterbitkan dalam Journal Communication Education, 4 April 2012.

“Kita melakukan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa, mahasiswa yang memiliki telepon genggam cenderung terbiasa melakukan pengiriman SMS selama kuliah berlangsung.” kata peneliti dalam studi ini, Fang-Yi Flora Wei, Phd.

“Kirim dan terima SMS saat mata kuliah berlangsung membuat perhatian mahasiswa terganggu dan mengakibatkan fungsi kognisi dalam belajar tidak efekif,” tambahnya yang juga profesor di Universitas Pittsburgh, Bradford.

Penelitian ini dilakukan pada sejumlah mahasiswa di Universitas Pittsburgh dengan mengisi kuesioner anonim pada akhir semester. Mahasiswa diminta untuk memberikan jawaban berapa banyak rata-rata SMS yang dikirim atau mereka terima selama kelas berlangsung.

Sulit untuk mengetahui dampak SMS secara langsung terhadap hasil belajar mahasiswa, Wei mengatakan, ia dan rekan peneliti lain memilih menggunakan analisis jalur korelasi antara SMS dengan hasil belajar sebagai metode penelitian dalam mengungkap hubungan antar dua variabel.
Kuesioner tersebut juga mengatakan bahwa mahasiswa yang sering mengirim sms selama kelas berlangsung, kurang bisa mempertahankan fokus perhatian pada dosen mereka.

“Mahasiswa mungkin percaya diri bahwa mereka mampu melakukan multitasking selama kelas berlangsung, seperti mendengarkan kuliah sambil melakukan SMS secara bersamaan,” kata Wei.
“Pokok pertanyaan yang perlu diperhatikan adalah seberapa baik mereka bisa mempertahankan fokus perhatian mereka pada dosen di kelas, bukan seberapa hebat mereka bisa melakukan multitasking,” imbuhnya.

Wei menyarankan, Mahasiswa harus mempertimbangkan kembali untuk membatasi SMS selama kelas berlangsung. Dia tidak berpikir bahwa larangan SMS selama kelas berlangsung akan efektif diterapkan dalam mengurangi hilangnya konsentrasi dan tetap menjaga fokus perhatian mahasiswa.

Terapi Kognitif Efektif Atasi Masalah Psikologis

Terapi kognitif banyak digunakan oleh psikolog dan penyedia layanan kesehatan mental lain untuk membantu pasien yang mengalami masalah psikologis. Jenis teknik yang digunakan akan tergantung pada rencana diagnosis, tingkat keparahan, dan jenis pengobatan.

“Salah satu teknik yang paling menonjol adalah terapi kognitif perilaku (cognitive behavior therapy),” kata Martin Manosevitz, Ph.D., psikolog klinis di Aspen, Amerika Serikat, Selasa (8/5).

Ia mengatakan, terapi kognitif telah digunakan pada pasien dengan ketergantungan, kecemasan, dan depresi. Banyak gangguan psikologis lainnya yang juga efektif menggunakan terapi kognitif ini.

“Prinsip utama dari terapi kognitif adalah fokus pada kemampuan pasien untuk mengembangkan cara berpikir melalui cognitive styles,” tambahnya.

Menurut psikolog yang membuka praktek di Aspen ini, tujuan utama dari terapi perilaku kognitif adalah mengajarkan pada pasien bagaimana menerapkan pola pikir dan perilaku yang tepat, sehingga dapat membantu mereka membuang pemikiran yang menyimpang dan perilaku tidak adaptif.

“Melalui pola pikir tersebut, pasien dapat mengurangi kecemasan dan menyebabkan perilaku lebih adaptif, dengan demikian perasaan akan lebih positif tentang diri mereka sendiri.” paparnya.
Terapi ini bisa membantu selain memberikan obat penenang pada pasien. “Obat tidak mengubah gaya kognitif dan lamanya pola pikir. Hanya dengan terapi kognitif dapat mendistorsi pola pikir yang kurang adaptif menjadi lebih adaptif,” tutup kolumnis di aspen daily news ini.

Psikopat Memiliki Struktur Otak Yang Berbeda

Para ilmuwan menemukan bahwa otak psikopat yang divonis sebagai pelaku pembunuhan, pemerkosaan dan tindak kekerasan terbukti memiliki struktur otak yang berbeda.
Pernyataan ini merupakan hasil sebuah studi dari para peneliti di King’s College London’s Institute of Psychiatry. 

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa psikopat memiliki sedikit lapisan tipis yang disebut dengan cerebral cortex atau grey matter yang berwarna abu-abu pada otak mereka. Lapisan otak ini merupakan pusat sarat yang dapat mengendalikan perhatian, ingatan, pertimbangan, persepsi, kesadaran dan bahasa.

Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh kantor berita Reuters, para peneliti mengatakan, area otak tersebut sangat penting bagi seseorang untuk memahami keinginan dan emosi orang lain.
Cara untuk mengetahui perbedaan ini, peneliti menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI), sebuah alat pemindai otak yang dilakukan pada 44 laki-laki dewasa pelaku tindak kekerasan di Inggris. 

Mereka juga didiagnosis memiliki gangguan kepribadian anti-sosial (Anti-Social Personality Disorders/ASPD). Terdapat 17 orang yang divonis melakukan tindak pemerkosa, pembunuhan dan penyiksaan memiliki diagnosis penyakit ASPD dan psikopat.

Nigel Blackwood, pemimpin dalam studi ini mengatakan, ada perbedaan pola tindak kejahatan yang dilakukan oleh ASPD dan psikopat dibanding orang biasa, tentu penanganan juga akan berbeda dan terpisah.

“Kami menggambarkan mereka yang bukan psikopat sebagai ‘kepala panas’ dan psikopat sebagai ‘hati dingin’,” jelas Blackwood.

Menurutnya, psikopat lebih awal untuk memulai penyerangan dengan daya jangkau lebih luas dan intens. Mereka memiliki respon yang kurang baik saat penyembuhan dibandingkan dengan kelompok “kepala panas”.

Perlunya Psikologi Positif di Tempat Kerja

Sudah pasti semua perusahaan ingin membangun karyawan mereka menjadi kreatif, cerdas, kolaboratif dan penuh motivasi bekerja. Namun, bagaimana bisa sebuah perusahaan yang cenderung mendorong ketidakseimbangan kehidupan dan kelelahan kerja menjadi lebih perhatian. 

Berdasarkan prespektif ini, sudah saatnya perusahaan perlu beralih ke cabang psikologi yang berhubungan dengan pengembangan dan kekuatan individu, yaitu psikologi positif. 

“Saya pikir setiap jenis tempat kerja, terlepas dari ukuran, bisa mendapatkan keuntungan secara signifikan dari kesejahteraan karyawan, dan memungkinkan mereka untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan bahkan menjadi yang terbaik.” kata Orin C. Davis, Ph.D., peneliti dan konsultan di Quality of Life Laboratory, ketika dihubungi oleh Psikologi Zone (7/2).

Hal ini menjadi penting untuk sejumlah alasan, termasuk fakta bahwa orang dewasa begitu banyak menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk bekerja. Tempat kerja mereka pasti akan memiliki pengaruh besar pada kehidupan mereka. 

“Ketika sebuah tempat kerja meningkatkan kesejahteraan positif, karyawan lebih cenderung untuk menempatkan diri mereka sebaik mungkin ke dalam pekerjaan mereka, memberikan keuntungan bagi perusahaan, dan menghasilkan karya yang lebih kreatif dan inovatif, semuanya meningkatkan laju perusahaan secara keseluruhan.” jelas Davis.

Dalam paper yang dipublikasikan oleh Davis dengan judul Why the Workplace Needs Positive Psychology, ada beberapa cara berdasarkan penelitian dalam psikologi positif bagi perusahaan untuk bisa mencapai kesejahteraan positif bagi karyawan.

Davis memberikan beberapa contoh, misalnya, proses seleksi dapat ditingkatkan dengan menilai kekuatan dan kemampuan pelamar dalam hal bagaimana mereka dapat berkontribusi pada kebutuhan perusahaan. 

Contoh lain, perusahaan dapat bekerja dengan karyawan mereka untuk menemukan cara-cara di mana individu dapat memaksimal kontribusi atau kekuatannya, sehingga memberikan dia pekerjaan yang berhubungan dengan tanggung jawab.

Anak Perempuan Lebih Unggul Dalam Aritmetika

Saat anak laki-laki banyak dibandingkan lebih baik dalam ilmu pengetahuan dan matematika dibandingkan perempuan, benarkah hal ini? Sebuah penelitian baru menemukan bahwa anak perempuan justru lebih baik dalam penguasaan arimetika. Studi ini diterbitkan dalam jurnal Psychological Science tahun 2012. Penelitian ini mengatakan bahwa kemampuan arimetika berasal dari baik buruknya kemampaun verbal.

“Orang selalu berpikir bahwa anak laki-laki unggul dalam bidang matematika dan keterampilan spasial, sedangkan anak perempuan unggul dalam bahasa,” kata Xinlin Zhou dari Beijing Normal University, peneliti dalam studi ini, (23/2).

Ia menambahkan, “Namun, beberapa orang tua dan guru di Cina mengatakan sebaliknya, anak perempuan justru lebih baik dalam kemampuan arimetika dari pada anak laki-laki di sekolah dasar.”
Zhou dan rekan peneliti lainnya melakukan serangkaian tes pada anak usia 8 hingga 11 tahun di Beijing. Anak perempuan diketahui lebih unggul dalam bidang keterampilan matematika dibandingkan dengan anak laki-laki. Mereka lebih baik dalam kemampuan aritmetika, termasuk tugas-tugas seperti pengurangan sederhana dan perkalian kompleks.

Anak perempuan juga lebih baik dalam membangun kata berirama. Zhou dan rekan lainnya mengatakan, “Aritmetika dan kemampuan menghitung didukung oleh pengolahan verbal yang baik.” Semua bentuk pengenalan, hafalan, dan penghitungan matematika membutuhkan kemampuan verbal, yang kemudian akan ditanam melalui memori di otak.

“Kemampuan bahasa yang lebih baik dapat membuat proses pengenalan, menghafal dan pengembangan aritmetika lebih efisien,” kata Zhou. 

Ia berharap hasil penelitian ini dapat membantu anak-anak perempuan dapat belajar matematika lebih baik. Anak laki-laki bisa memaksimalkan belajar matematika melalui strategi verbal yang lebih baik.
Anak perempuan akan lebih maksimal lagi bila mereka juga ikut melatih kemampuan spasial. Penelitian ini menyebutkan bahwa anak laki-laki lebih baik dalam hal permainan gambar tiga dimensi dibandingkan perempuan.

RSBI, Ciptakan Isu Diskriminasi Pendidikan


 

Kebijakan pemerintah mengenai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) menuai banyak perdebatan. Sebagian kalangan menilai RSBI hanya akan membuat kesenjangan mutu dan layanan pendidikan, sedangkan pihak lain mengatakan sebaliknya.

Pihak pemerintah sendiri masih bersikukuh tetap menyelenggarakannya. Melalui persidangan judicial review Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) di Mahkamah Agung, para saksi ahli mewakili pemerintah mengatakan, RSBI sama sekali tidak melawan norma kebangsaan dan menolak bila dikatakan diskriminatif dalam pendidikan.

Dalam persidangan, Kepala SDN 01 Menteng, Jakarta Pusat, Achmad Solihin mengatakan, isu diskriminatif yang digulirkan pemohon sama sekali tidak benar. Berdasarkan pengalamannya, dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) tidak pernah ada unsur membeda-bedakan calon siswa berdasarkan kelas ekonomi.

“Diskriminatif dalam penerimaan siswa di sekolah RSBI itu isu tidak benar,” kata Achmad di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (2/5).
Ia menambahkan, PPDB sifatnya terbuka luas untuk semua kalangan masyarakat karena ada sistem online dan diatur dalam Disdik DKI.

Sementara itu, Psikolog Sosial Universitas Indonesia, Bagus Takwin selaku saksi ahli pemohon uji materi pasal 53 ayat 3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, mengatakan hal yang berbeda.
“Dalam UUD 1945 jelas disebutkan bahwa pendidikan adalah hak warga negara. Karena itu, mutu pendidikan harusnya bukan untuk sekelompok orang, tetapi untuk semua anak bangsa,” katanya.
Ia menjelaskan, dalam kajian psikologi pendidikan, anak-anak dapat berkembang lebih baik bila ada interaksi dengan siswa dan guru yang berbeda-beda. Manfaatnya, siswa-siswa pintar bisa berbagi, sedangkan siswa yang kurang pandai bisa belajar untuk meningkatkan diri.

Bila anak-anak sudah dikotak-kotakkan berdasarkan kecerdasan atau taraf ekonomi melalui sistem pendidikan, generasi muda Indonesia akan menganggap bahwa ketidakadilan merupakan hal biasa. Kebijakan pemerintah seharusnya meminimalisir jumlah anak-anak bangsa yang tertinggal